Beasiswa?kenapa tidak...

 Pusat Info Beasiswa

Rabu, 19 Februari 2014



Bahasa dan Hakikat Filsafat Bahasa


Pendahuluan
            Hubungan kajian filsafat dan bahasa seperti gula yang tidak pernah bisa berpisah dengan manisnya. Maka lazimlah bila para filosuf sependapat bahwa hubungan keduanya sangat erat, bahkan tidak dapat dipisahkan.
            Romantisme antara filsafat dan bahasa sebenarnya sudah terjalin sangat kuat sejak zaman Yunani, akan tetapi eksistensinya bisa dikatakan pasang surut, hal ini disebabkan karena perhatian para filosuf dipengaruhi oleh problema tertentu yang sedang menjadi isu trend di zaman itu.
            Seiring berkembangnya zaman,  para filosuf mulai sadar bahwa bahasa merupakan sarana yang utama dalam filsafat, sebab bahasa memiliki washilah untuk filsafat, maka para kaum sophist  mulai menaruh perhatian terhadap bahasa, dan sejak saat  masa inilah berlomba - lomba muncul beberapa karya yang  menjelaskan filsafat bahasa, sebut saja mahakarya Partes Orationis, Oratio, Trivium dan Quadrivium serta lain-lain.[2]

Jabat Tangan Antara Filsafat (dan) Bahasa
            Filsafat merupakan disiplin ilmu yang terus menerus secara continous mencari hakikat sebuah kebenaran, hal ini senada dengan definisinya, yakni cinta akan kebiaksanaan, philosophia. Sementara bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan oleh siapapun untuk memberikan ekspresi, perasaan, keinginan ataupun ungkapan ungkapan hatinya.
            Maka tak salah kiranya jika seorang filosuf berpendapat bahwa hubungan keduanya sangat bersinergi, yakni (dalam pengertian pokok bahwa) tugas utama filsafat adalah analisis terhadap konsep, sedangkan tugas bahasa adalah sebagai jembatan untuk menyampaikan konsep tersebut.
            Ringkasnya, para filosuf memberikan dua pengertian terhadap filsafat bahasa. Pertama, perhatian filosuf  terhadap bahasa dalam menganalisa, memecahkan, dan menjelaskan  problema dan konsep filosofis. Kedua, perhatian filosuf terhadap bahasa sebagai sarana dalam  membahas dan  mencari hakikat bahasa yang  pada gilirannya menjadi sebuah paradigma bagi perkembangan filsafat.[3]
            Karena bahasa merupakan alat komunikasi manusia, penuangan emosi dan sarana pengejawantahan pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari, tentunya bahasa memiliki hakikat tersendiri, utamanya bila disandingkan dengan filsafat yang selalu beraktivitas dan berpangkal untuk menemukan kearifan dalam hidup.
            Bahasa memiliki dua varian, inklusif dan eksklusif. Dimana varian inklusif sering diartikan sebagai bahasa yang tidak digunakan dalam komunikasi sehari-hari, misalnya bahasa musik, bahasa cinta bahkan bahasa semesta. Sedangkan bahasa eksklusif ialah bahasa yang digunakan sebagai komunikasi sehari-hari. Artinya, varian kedua inilah yang lebih cenderung kondrati untuk dijadikan obyek falsafi. Yang dengan varian eksklusif pula kita bisa memaknai sebuah konsep filsafat secara meaningfull maupun meaningless.[4]

Substansi Filsafat Bahasa
            Tanpa bahasa, sungguh para filosuf tidak akan pernah bisa berfilsafat, akan tetapi tanpa filsafat kita masih bisa berbahasa. Namun tentu saja hal ini akan terjadi tanpa berdasarkan argumentasi yang bernalar dan tak arif pula. Begitulah repsentasi makna berfilsafat bahasa yang sangat urgent sekali.[5]
            Kajian bahasa dalam  ranah filsafat bisa dikatakan sebagai pondasi yang kuat untuk membentuk sebuah meaning, karena bahasa memiliki kelemahan-kelemahan yang tidak pernah bisa dipecahkan kecuali dengan menggunakan filsafat. Kelemahan bahasa antara lain ;
1.      Vagueness (kesamaran), artinya bahasa ibarat seperti mata yang tidak pernah bisa melihat pada dirinya sendiri, dia perlu alat bantu yang bernama cermin. Begitu pula bahasa yang samar, perlu bantuan filsafat untuk mengetahui eksistensinya. Misalnya kata kupu-kupu malam untuk menyebutkan wanita penghibur.
2.      Contex-depedence (tergantung pada konteks), bahasa peranannya sangat lentur, sehingga kita mesti mengetahui konteks penggunaannya. Misalnya istilah Jancuk di daerah Surabaya dan wilayah Yogyakarta tentulah berbeda. konteks Jancuk di Surabaya menunjukkan sikap kedekatan, seperti contoh ajakan ngopi antara seorang kawan yang sangat lazim  menggunakan istilah ; cuk, ayo ngopi. Bahkan sampai ada brand yang memproklamirkan dirinya bernama Cak-Cuk (diambil dari Jancuk). Fenomena ini sungguh akan sangat mustahil terjadi di wilayah Yogyakarta, sebab konteks Jancuk memiliki konteks yang jorok menurut mereka.
3.      Misleadingness (menyesatkan), tidak jarang bahasa dituturkan dengan kecenderungan emosi yang tidak terarah atau  istilah lainnya bahasa dimanipulasi demi kepentingan tertentu. Seperti bahasa orasi tim kampanye salah satu partai yang berseru wa laa taqrabaa hadzihi as-syajarah untuk melarang massa mencoblos salahsatu partai yang berlogo pohon.[6]

            Maka karena kerancauan inilah kemudian muncullah aliran-aliran filsafat bahasa, seperti Atomisme logis, Positivisme logis dan Filsafat bahasa biasa ( ordinary language philosophy ).
            Atomisme logis dipelopori oleh Bertand Russel, aliran ini mendewakan kesederhanaan dalam ide-ide ungkapan, sehingga mudah difahami, dapat dicerna oleh setiap orang dan logis. Aliran ini menolak keras ungkapan yang tidak masuk akal, seperti  Jiwa itu adalah Abadi, waktu adalah tidak real, maupun roh absolout.
            Sedangkan Positivisme logis merupakan aliran yang digagas oleh kelompok yang menamakan dirinya lingkaran Wina, Austria. Seperti namanya, aliran ini corak pemikirannya tentu saja bersifat positif dan bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Misalnya ungkapan perbuatan ini adalah benar dan hukuman itu menyakitkan.
            Adapun Filsafat bahasa biasa (yang sering pula dianggap aliran Oxford, karena mayoritas diikuti oleh aktivis Oxford) merupakan aliran yang berprinsip jangan menanyakan makna, tapi tanyalah tentang penggunaan bahasa. Contohnya ungkapan Amin lebih tua dari bapaknya, ungkapan ini maknanya diluar logika namun penggunaannya sudah standart, baku dan benar.[7]

Penutup
            Bahasa jelas adalah simbol dan makna yang mewakili setiap pemikiran. Berdasarkan realita ini, siapapun senantiasa akan memiliki relasi baik dengan bahasa termasuk seorang filosuf. Filosuf yang dikenal dengan karakter bijak dan maju dalam mengungkapkan hasil pemikirannya tanpa bantuan bahasa takkan pernah berkutik.
            Dari fenomena ini kajian filsafat bahasa memiliki hakekat yang sangat vital dalam tradisi keilmuan. 

Daftar Bacaan
Alwasilah, Chaedar.,  2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Hidayat, Ahmad Asep., 2009. Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan            Tanda. Bandung: Remaja Rosdakarya
MS, Kaelan., 2002. Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta:           Paradigma




  [2] Kaelan MS, Filsafat Bahasa, Masalah dan Perkembangannya  ( Yogyakarta : Paradigma, 2002)  Hlm. 2
                [3] Kaelan MS, Filsafat Bahasa, Masalah dan Perkembangannya ..........................  Hlm. 5
                [4] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, Mengungkap hakikat bahasa, makna dan tanda  ( Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2009)  Hlm. 13
                [5] A. Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan  ( Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2008) Hlm. 14   
                [6] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, Mengungkap hakikat bahasa, makna dan tanda.......Hlm. 32-35
                [7] Kaelan MS, Filsafat Bahasa, Masalah dan Perkembangannya......... Hlm. 98 - 178

Jumat, 06 Desember 2013



Analisa Eklektisisme Dalam Pemikiran Ahmad Dahlan
Pada Buku Matahari Pembaharuan ; Rekam Jejak Ahmad Dahlan[1]

A.    Pendahuluan
            Di Indonesia ada dua tokoh besar (Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy`ari) yang berguru pada seorang tokoh besar pula (Syaikh Khatib As-Sambasi). Seperti kata pepatah ; tidur sebantal dengan mimpi yang berbeda, begitu mungkin. Kedua tokoh besar itu kemudian mendirikan organisasi terbesar dan antara satu dan yang lain sangat memiliki perbedaan yang sangat jauh, utamanya dibidang tradisionalis dan modernis. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah dan Hasyim Asy`ari melalui Nahdlatul Ulama`nya.
            Nasruddin Anshoriy Ch bukanlah menulis biografi dari Ahmad Dahlan, dalam tulisannya dia hanya memaparkan data sejarah yang berhasil dikumpulkan, utamanya berkaitan dengan nilai sosial, agama, edukasi dan perjuangan lain yang menjadi sepak terjang Ahmad Dahlan. Hal ini bertujuan supaya jasanya tidak hanya dikenang generasi penerus, akan tetapi agar menjadi teladan dalam berpijak dan menjadi ‘api pembakar’ semangat perjuangan.
            Berbicara tentang keislaman di Indonesia, maka kita tak akan luput dari seorang tokoh besar yang memberikan banyak sumbangsih dan perubahan pada nilai-nilai religius, dialah pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan.
            Bila Mesir memiliki Muhammad Abduh sebagai pembaharu, maka Indonesia memiliki Ahmad Dahlan sebagai mujaddid. Ahmad Dahlan tidak hanya dihormati kawan, dia juga disegani lawannya, bahkan karena beberapa jasanya, dia dinobatkan sebagai pahlawan Nasional.[2]
            Tercatat ada beberapa peristiwa yang menurut hemat penulis mengundang kontroversi, utamanya bila dikaitkan dengan zaman dimana Ahmad Dahlan hidup. Maka beranjak dari permasalahan yang dianggap kontroversi dan nyeleneh inilah penulis berusaha memecahkan masalah dan menemukan jalan keluar.
            Adalah analisa teori sosial Eklektisisme[3] yang digunakan penulis dalam membedah problema kontroversi yang menimpa perjuangan Ahmad Dahlan. Hal ini penulis anggap sangat cocok dan relevan, sebab kontroversi yang terjadi adalah kontroversi sosial dan analisa pembedahnya adalah teori yang memang mengupas musykilah sosial pula.
B.  Pembahasan
1.  Konsep Eklektisisme
                Eklektisisme diambil dari bahasa Inggris electicsm yang bermakna pandangan yang berusaha menyelidiki dan mengetahui berbagai sistem metode, teori atau doktrin yang dimaksudkan untuk memahami dan menerapkannya dalam situasi yang tepat. Maka tujuan dari eklektisisme ini ialah mengembangkan integritas berbagai sistem metode, teori atau doktrin itu sendiri pada level tertinggi dengan ditandai adanya aktualisasi diri yang memuaskan. Jadi fokus eklektisisme secara langsung pada tingkah laku, tujuan dan masalah yang akan dihadapi tidak hanya pada waktu itu, tapi secara berlanjut.[4]
            Promotor dari eklektisisme ini adalah Frederick Thome, dia pertama kali menulis eklektisisme dalam Journal of Clinical Psychology pada Tahun 1945 dan disusul dengan pengikut-pengikutnya seperti Brammer, Shostrom, R. Carkchuff hingga G. Egan dan Prochaska.
            Akan tetapi, eklektisisme juga memiliki nilai minus dan penuh dengan keterbatasan, misalnya adanya intervensi-intervensi yang kadang diadopsi tanpa dipikirkan baik-baik oleh seorang yang sudah sangat fanatik pada satu metode, teori atau doktrin bahkan pada tokoh yang dianggapnya sempurna.[5]
            Alasan besar mengapa eklektisisme sangat urgent. kondisi public yang senantiasa berkembang, karena bisa dipastikan tidak akan pernah ada situasi yang statis di ranah public. Adapun langkah sebagai jalan keluar untuk menerima eklektisisme adalah dengan interview sebagai strategi membangun atau menciptakan struktur hubungan pada metode, teori atau doktrin, kemudian melakukan asesmen (meramalkan pandangan metode, teori atau doktrin) serta bisa bersikap fleksibel dan membuka perubahan ide yang kemungkinan terjadi dalam memecahkan masalah metode, teori atau doktrin. [6]

2.    Eklektisisme Dalam Pemikiran Ahmad Dahlan
            Bila kita membaca buku Matahari Pembaruan yang menjadi obyek analisa penulis, atau pernah menonton film Sang Pencerah, maka ada beberapa kejadian unik yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan, dalam hal metode dakwah misalnya. Setidaknya penulis menggaris-bawahi tiga peristiwa penting yang pada hakikatnya bertentangan dengan kebiasaan masyarakat waktu itu, namun oleh Ahmad Dahlan Justru di jadikan sebagai ‘pintu’ yang menjadi jalan bagi kita untuk ‘masuk’ pada kesadaran baru.
            Peristiwa itu terjadi di langgar[7] Ahmad Dahlan, tepatnya saat dia mengajarkan Quran. Kebetulan ayat yang dibaca adalah Surat Al-Ma`un. Cara mengajar beliau sebenarnya sama dengan para kiai di langgar-langgar lainnya, hanya saja yang berbeda adalah telah berminggu-minggu materi yang diajarkannya tetap sama, yakni Surat Al-Ma`un.
            Akhirnya timbullah gejolak di hati para muridnya, hingga ada salah satu dari mereka yang berani bertanya pada Ahmad Dahlan ;
            “Kiai, maaf. Bukankah sudah secara continous kita membaca ayat ini (Surat Al-Ma`un) ? padahal di langgar sebelah sudah membaca beberapa Juz.”
            Ahmad Dahlan mendengar pertanyaan ini langsung menjawab ;
            “ Tidak penting dan tidak ada gunanya kita ngebut[8] dalam mengaji, sebab aku tidak ingin mengajar kalian membaca saja, aku ingin mengajar kalian membaca dan mengamalkan isinya. Lalu mengapa kita masih tetap membaca ayat ini? Memang sudah berapa anak yatim dan fakir miskin yang kalian santuni hari ini? Bukankah ayat ini mengajarkan kita untuk memberi dan mengasihi, utamanya pada mereka yang ada dibawah kita?[9]
            Maka mendengar kalam Ahmad Dahlan, serentak para muridnya segera mungumpulkan sedikit demi sedikit beras dan uang sen yang mereka punya kemudian menelusuri daerah Kauman untuk membagikan beberapa beras dan uang sen tersebut sehingga mereka benar-benar mengamalkan apa yang menjadi impian gurunya itu.
            Semenjak itulah pengajian di langgar Ahmad Dahlan tidak sekedar belajar ‘mengaji ritual’, tapi belajar pula bagaimana ‘mengaji sosial’ itu harus diaplikasikan. Dan tanpa menunggu dawuh[10] dari Ahmad Dahlan lagi, para murid akan melakukan apa yang sudah dijelaskan pada mereka sesuai dengan isi Quran (pengajian).
            Begitulah Ahmad Dahlan, dia tidak hanya da`wah bil qaul namun juga da`wah bil haal. Saat kebiasaan masyarakat mengaji dan ingin segera khatam Quran sebagai lambang kedewasaan (kala itu), dia justru sedikitpun tidak bergeming, bahkan sangat bertolak belakang melakukan eklektisisme dalam metode berdakwah, bahkan hal ini cenderung tidak lazim pada zamannya.
            Selain kejadian yang masyhur dengan ‘fenomena Al-Ma`un’ ini, ada juga peristiwa lain yang sangat kontroversial, yakni terjadi saat awal mula didirikannya Madrasah Ibtida`iyyah[11].
            Asal muasal madrasah ini adalah kegelisahan Ahmad Dahlan melihat para anak-anak pribumi tidak memiliki dasar pendidikan yang baik, bahkan kebanyakan dari mereka menjadi pengangguran dan menghabiskan waktu dengan percuma alias terbuang belaka, padahal syubbanul yaum, rijalul ghadh. Pemuda hari ini adalah pemimpin di masa yang akan datang.
            Namun, perjuangan yang sesungguhnya sangat luhur ini di tentang masyarakat, karena sistem pendidikannya sama dengan pendidikan yang di kelola oleh Belanda. Mulai dari pakaian, bangku, cara menulis dan lain sebagainya.
            Ahmad Dahlan mulai disebut sebagai orang yang berhati Belanda namun berkulit muslim,  hal ini tidak berlebihan, karena memang saat itu ada jargon man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhun, barang siapa menyerupai (hal apapun) terhadap sebuah golongan, maka sungguh dia adalah salah satu dari golongan itu.[12]
            Semua masyarakat mencibir Ahmad Dahlan dan para muridnya, peristiwa ini berakhir tatkala ada seorang kiai yang datang ke Madrasah Ahmad Dahlan dan bertanya ;
            “Mengapa engkau mendirikan sekolah ini? Bukankah sistemnya kafir, seperti para kompeni belanda itu?”
            Ahmad Dahlan Menjawab ;
            “Kiai, sebelum saya menjawab pertanyaan anda. Tolong jawab dulu pertanyaan saya, ngomong-ngomong kiai berangkat dari rumah ke sini naik apa?”
            “ ya tentu dengan mengendarai kereta api, masa saya mau pake sepeda onthel, kan ada yang lebih ringkas” jawab kiai tersebut.
            Maka Ahmad Dahlan segera menanggapi jawaban kiai kharismatik itu dengan berkata;
            “kalau begitu kiai salah, seharusnya kiai tidak boleh menyalahkan sekolah saya hanya karena sistemnya seperti Belanda. Sebab ternyata kiai juga mengambil faidah dari Belanda, buktinya kiai lebih memilih mengendarai kereta api yang dibuat oleh Belanda.....”
            Belum selesai Ahmad Dahlan berkata, kiai yang tadi marah marah itu kini wajahnya pucat, kemudian tanpa sepatah katapun kiai itu pergi tanpa pamit dari rumah Ahmad Dahlan.
            Hikmah dari kisah ini sangat jelas, adanya eklektisisme dalam metode dakwah Ahmad Dahlan belum di terima public, walaupun sebenarnya dalam dunia pendidikan tak ada istilah kafir dan muslim, sebab yang namanya ilmu adalah kebutuhan primer manusia. Bahkan Allahpun akan mengangkat derajat seorang yang berilmu, sebagaimana seorang yang beriman.
             Selain itu, kisah yang penulis angkat yang juga memiliki nilai eklektisisme adalah saat berdirinya PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) yang menjadi cikal-bakal adanya rumah sakit atau poliklinik di Indonesia.
            Kisahnya, saat terjadi letusan gunung Kelud di Blitar-Kediri, Ahmad Dahlan berusaha menjadi relawan, dan otomatis murid serta simpatisannya ikut bergabung, akan tetapi sayang seribu sayang tim Ahmad Dahlan dan kawan-kawan tidak mempunyai dokter yang benar-benar ahli menangani hal obat dan pengobatan.
            Maka timbulah ide untuk mengajak dokter dari kompeni Belanda untuk menjadi tim mereka. Sontak, hal ini membuat pro dan kontra di kalangan masyarakat, sebab saat peristiwa ini terjadi (1918) kompeni Belanda adalah musuh besar rakyat, karena Belandalah yang menjajah dan memasung rakyat di Negerinya sendiri.
            Akan tetapi ide Ahmad Dahlan yang langka bahkan terkesan radikal ini mencerminkan gagasan dan aksi sosial yang nyata, bahkan menunjukkan kepedulian tinggi terhadap nasib rakyat yang menderita dan mengesampingkan nilai ideologi yang mengakar pada rakyat bahwa semua Belanda adalah jahat, padahal dokter yang dikirim dari Belanda memang bertugas menyembuhkan dan menjadi divisi kesehatan, tidak hanya bagi Belanda tapi juga bagi rakyat yang di jajahnya.[13]
            Hikmah lain dalam kisah ini adalah adanya toleransi yang sangat tinggi. Toleransi adalah persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu, jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang harmonis, maka hasil itu harus difahami sebagai manfaat atau hikmah. Terlebih toleransi merupakan azas dari terciptanya masyarakat madani yang selalu diidamkan masyarakat.[14]
            Selanjutnya, kita berbicara tentang doktrin yang diwariskan Ahmad Dahlan. Doktrin yang ditinggalkan oleh Ahmad Dahlan lebih banyak tergambar pada leadership principle (prinsip kepemimpinan), namun sayangnya dewasa ini banyak orang yang tidak tahu makna dan hakikat kepemimpinan, bahkan mayoritas dari mereka salah faham pada arti kepemimpinan itu sendiri.
            Dewasa ini kebanyakan orang melihat bahwa kepemimpinan adalah kedudukan atau posisi semata, maka akibatnya banyak orang berlomba-lomba menjadi pemimpin dengan menghalalkan segala cara, padahal sebenarnya kepemimpinan ialah lahir dari pribadi kita saat bisa memimpin diri sendiri, keluarga maupun lingkungan sekitar. Di samping itu, kepemimpinan mesti diukur dengan ruang lingkup, keilmuan serta pengalamannya.[15]
            Syahdan, ada kisah seorang murid Ahmad Dahlan yang akan pergi naik haji, maka ibarat kata pepatah menyelam sambil minum air, Ahmad Dahlan meminta sang murid untuk menjadi diploma, mewakili rakyat Indonesia pada umumnya dan menyampaikan aspirasi yang dimiliki Ahmad Dahlan pribadi pada Wizaratul Hajj di Mekkah yang berhubungan dengan kaum muslimin.
            Tentu sang murid yang masih awam sangat takut dan tidak pede, namun berkat motivasi dari Ahmad Dahlan, bersedialah murid itu untuk menjadi pemimpin yang akan menyampaikan amanah ummat demi terciptanya ni`matul ummat.
             Eklektisisme yang menonjol dalam konteks ideologi Ahmad Dahlan juga sangat nampak pada ‘pemurnian ajaran Islam’, dimana gerakan ini berorientasi pada anti TBC (takhayul[16], bid`ah[17] dan Churafat[18]).
            Gerakan anti TBC ini pada awalnya membuahkan cara pandang yang berbeda dengan tradisi lama dalam menjalankan Islam, banyak respon yang pro dan tidak sedikit juga yang kontra. Misalnya dalam hal upacara Tahlilan[19], Tawassul[20], Maulidan[21], dan lain-lain.
            Ringkasnya, menurut doktrin Muhammadiyah, tak perlu kita mengkultuskan orang meninggal dengan upacara Tahlil untuk mendoakan mayyit, cukuplah berdoa untuk kebaikannya di akhirat, terlebih membuang-buang rasanya jika harus membuat aneka macam masakan yang terkesan pemborosan jika nilai yang di cari hanya untuk mendoakan mayyit. Begitu pula dengan Tawassul. Bertawassul kepada wali bahkan nabi untuk kebutuhan hajat kita dianggap tidak perlu, sebab jika kita berdoa kepada Allah, maka sesungguhnya dia Maha Mendengar, terlebih lagi ada FirmanNya ; ud`uuniy astajiblakum, berdoalah kalian, niscaya akan Aku penuhi. Demikian juga dengan Maulidan, Maulidan yang biasa dirayakan untuk merefleksikan kelahiran Nabi Muhammad dianggap bid`ah karena Nabi saja dimasa hidupnya tidak pernah merayakan hari lahirnya sendiri.[22]
            Inilah yang dimaksud dengan pemurnian Islam, sebab sebelumnya tidak pernah ada ahwal seperti ini di era kejayaan Islam. Kemungkinan hal ini lahir dari pengaruh ajaran Hindu-Budha yang mengakar pada orang Jawa.
            Pemurnian dalam Muhammadiyah dimaksudkan sebagai pemeliharaan terhadap keotentikan ajaran sesuai Quran dan Hadits, serta pemurnian yang yang dilakukan Muhammadiyah hanya berkisar pada masalah dan problema furu`iyyah (cabang) saja.[23]
            Disamping itu, Ahmad Dahlan yang dikenal sebagai Bapak Modernis tidak meninggalkan adat dan budaya yang ada, dengan catatan adat dan budaya itu relevan dengan ajaran Islam. Contohnya adat Sekaten[24]. Sekaten yang pada hakikatnya adalah wujud persaksian kita merupakan implementasi pertama dalam rukun Islam. Dengan demikian, masyarakat secara sadar mengetahui makna syhadat.

Kesimpulan
            Sungguh sombong dan angkuh rasanya bila kita memahami sepak terjang perjuangan Ahmad Dahlan dari berbagai aspek kehidupannya dalam buku Matahari Pembaruan, namun kita tidak bisa memberikan poin kesimpulan yang pas.
            Maka penulis berusaha menghilangkan kesombongan dan keangkuhan itu dengan merangkai kata, walaupun dengan sadar, penulis bisa melihat jika rangkaian kata ini sungguh tidak patut dan terkesan jauh dari sempurna.
            Pemikiran Ahmad Dahlan bila dianalisa dengan pisau eklektisisme akan memberikan beberapa kesimpulan, seperti ;
a.       Beragama tentulah dengan beramal, artinya berkarya dan berbuat sesuatu, serta melakukan tindakan sesuai dengan pedoman Quran dan Hadits.
b.      Kunci kemajuan ummat adalah ilmu pengetahuan.
c.       Untuk mencari kebenaran, orang tidak boleh merasa benar sendiri. Dan berusaha merubah pikiran dengan sikap terbuka.
d.      Tidak boleh mudah mencari kesalahan orang lain, sebab manusia tidak luput dari kesalahan yang jujur (by honest mistake), keteledoran (by negligence), dan ada pula yang memang berniat jahat (by malice).

Daftar Bacaan
            Al-Munawwar, Said Agil Husein., 2000, Muhammadiyah Dalam Dimensi Tajdid, dalam Maryadi (Ed) Muhammadiyah Dalam Kritik, Surakarta : Muhammadiyah University Press.
            Anshoriy, Nasruddin., 2010, Matahari Pembaruan ; Rekam Jejak KH. Ahmad Dahlan, Yogyakarta : Jogja Bangkit Publisher .
            Jones, Richard Nelson., 2011,  Teori dan Praktik Konseling dan Terapi   Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011   Terj. Oleh Helly Prajitno Soetjipto dkk dari judul asli Theory and Practice of Counselling and Therapy.
            Madjid, Nurcholish., 1999, Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi ; Tantangan dan Kemungkinan. Dalam Sudarno Shobron (Ed), Islam, Masyarakat Madani dan Demokrasi, Surakarta : Muhammadiyah Universiti Press.
            Mulkhan, Abdul Munir., 1990,  Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah, Jakarta : Bumi Aksara.
            Nasution, Harun., 1955,  Islam Rasional ; Gagasan dan Pemikiran , Bandung : Mizan.
            Pihasniwati., 2008,  Psikologi Konseling ; Upaya Pendekatan Integrasi-Interkoneksi,  Yogyakarta : Teras .
            Sauqi, Ahmad., 2010,  Meraih Kedamaian Hidup,  Yogyakarta : Teras.


               
                [1] Makalah diajukan sebagai tugas pada Matakuliah Pendekatan Dalam Pengkajian Islam yang diampu oleh Drs. H. Akh. Minhaji, MA., P.hD.
                [2] Nasruddin Anshoriy Ch, Matahari Pembaruan ; Rekam Jejak KH. Ahmad Dahlan  ( Yogyakarta : Jogja Bangkit Publisher, 2010) Hlm. 62
                [3] Eklektisisme merupakan teori sosial yang sering digunakan para konselor dan psikolog dalam menyelesaikan perbedaan-perbedaan, khususnya perbedaan mental dan perkembangan pikiran seseorang. Eklektisisme memiliki peran penting dalam dunia sosial, sebab dengan eklektisisme inilah ada ‘jalan keluar’ untuk menyatukan berbagai permasalahan sosial. Khususnya yang berhubungan dengan metode, teori maupun doktrin pemikiran seseorang.
                [4] Pihasniwati, Psikologi Konseling ; Upaya Pendekatan Integrasi-Interkoneksi ( Yogyakarta : Teras, 2008)  Hlm.  139
                [5]  Richard Nelson Jones, Teori dan Praktik Konseling dan Terapi  ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011)  Hlm. 741.   Terj. Oleh Helly Prajitno Soetjipto dkk dari judul asli Theory and Practice of Counselling and Therapy.
                [6] Pihasniwati, Psikologi Konseling ; Upaya Pendekatan Integrasi-Interkoneksi......Hlm.  142
                [7] Bahasa Jawa (BJ), Artinya ; Mushalla atau Surau.
                [8] BJ ; Mempercepat bacaan
                [9] Nasruddin Anshoriy Ch, Matahari Pembaruan ; Rekam Jejak KH. Ahmad Dahlan....Hlm. 7
                [10]  BJ ; Perintah dari guru atau orang yang strata sosialnya lebih tinggi
                [11]  Sekolah Setingkat Sekolah Dasar (SD)
                [12] Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah  ( Jakarta : Bumi Aksara, 1990)  Hlm. 20
                [13]  Nasruddin Anshoriy Ch, Matahari Pembaruan ; Rekam Jejak KH. Ahmad Dahlan.....Hlm.  134
                [14]  Nurcholish Madjid, Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi ; Tantangan dan Kemungkinan. Dalam Sudarno Shobron (Ed), Islam, Masyarakat Madani dan Demokrasi  ( Surakarta : Muhammadiyah Universiti Press, 1999)  Hlm. 183
                [15]  Ahmad Sauqi, Meraih Kedamaian Hidup  ( Yogyakarta : Teras, 2010)  Hlm.  168
                [16] Bahasa Arab (BA) ; Sesuatu yang ada dalam hayalan belaka atau kepercayaan pada hal berbau mistis
                [17]  BA ; Perbuatan yang tidak mengikuti sesuatu yang dicontohkan Nabi, atau menambahi maupun mengurangi ketetapan.
                [18]  BA  ; Dongeng atau ajaran yang tidak masuk akal
                [19]  BA  ; Pembacaan ayat suci sebagai permohonan rahmat dan ampunan bagi orang meninggal
                [20]  BA  ; Permohonan melalui perantara wali
                [21]  BA  ; Merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
                [22] Said Agil Husein al-Munawwar, Muhammadiyah Dalam Dimensi Tajdid, dalam Maryadi (Ed) Muhammadiyah Dalam Kritik ( Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2000)  Hlm. 4
                [23] Harun Nasution, Islam Rasional ; Gagasan dan Pemikiran  ( Bandung : Mizan, 1955)  Hlm. 153
                [24] Merupakan Bahasa Jawa yang berasal dari Bahasa Arab Syahadatain, bersaksi Allah dan Muhammad sebagai Tuhan dan Rasul kita. Sekaten merupakan perayaan atau upacara sebagai pengejawantahan pelaksanaan nilai yang terkandung dalam rukun Islam, upacara ini dilakukan dengan diiringi musik gamelan yang ditabuh sebagai kidung kemesraan antara manusia dan pencipta. Biasanya dilakukan didepan Masjid Besar (Jami`)